Latest Posts

Showing posts with label Islam. Show all posts
Showing posts with label Islam. Show all posts







Bagaimana Hukum Menikahi Perempuan Hamil di Luar Nikah, Hukum Menikahi Wanita Hamil Akibat Zina, Menikahi wanita yang sedang dalam keadaan hamil hukumnya ada dua. Yang pertama, hukumnya haram. Yang kedua, hukumnya boleh. Yang hukumnya haram adalah apabila yang menikahi bukan orang yang menghamili. Wanita itu dihamili oleh A, sedangkan yang menikahinya B. Hukumnya haram sebagaimana sabda Rasulullah SAW:


Tidak halal bagi orang yang beriman kepada Allah dan Hari Akhir, dia menuangkan air (maninya) padatanaman orang lain. (HR Abu Daud)

Yang dimaksud dengan tanaman orang lain maksudnya haram melakukan persetubuhan dengan wanita yang sudah dihamili orang lain. Baik hamilnya karena zina atau pun karena hubungan suami isteri yang sah. Pendeknya, bila seorang wanita sedang hamil, maka haram untuk disetubuhi oleh laki-laki lain, kecuali laki-laki yang menyetubuhinya.

Bagaimana Hukum Menikahi Wanita Hamil? Dari dalil di atas kita mendapatkan hukum yang kedua, yaitu yang hukumnya boleh. Yaitu wanita hamil karena zina dinikahi oleh pasangan zina yang menghamilinya. Hukumnya boleh dan tidak dilarang.

Maka seorang laki-laki menikahi pasangan zinanya yang terlanjur hamil dibolehkan, asalkan yang menyetubuhinya (mengawininya) adalah benar-benardirinya sebagai laki-lakiyang menghamilinya, bukan orang lain.

Perbedaan Pendapat TentangKebolehan Menikahinya

Memang ada sebagian pendapat yang mengharamkan menikahi wanita yang pernah dizinainya sendiri dengan berdalil kepada ayat Al-Quran Al-Kariem berikut ini:


Laki-laki yang berzina tidak mengawini melainkan perempuan yang berzina, atau perempuan yang musyrik; dan perempuan yang berzina tidak dikawini melainkan oleh laki-laki yang berzina atau laki-laki musyrik, dan yang demikian itu diharamkan atas oran-orang yang mu'min. (QS. An-Nur: 3)

Namun kalau kita teliti, rupanya yang mengharamkan hanya sebagian kecil saja. Selebihnya, mayoritas para ulama membolehkan.

1. Pendapat Jumhur (mayoritas) ulama

Jumhurul fuqaha' (mayoritas ahli fiqih) mengatakan bahwa yang dipahami dari ayat tersebut bukanlah mengharamkan untuk menikahi wanita yang pernah berzina. Bahkan mereka membolehkan menikahi wanita yang pezina sekalipun. Lalu bagaimana dengan lafaz ayat yang zahirnya mengharamkan itu?

Para fuqaha memiliki tiga alasan dalam hal ini.
Dalam hal ini mereka mengatakan bahwa lafaz 'hurrima' atau diharamkan di dalam ayat itu bukanlah pengharaman namun tanzih (dibenci).
Selain itu mereka beralasan bahwa kalaulah memang diharamkan, maka lebih kepada kasus yang khusus saat ayat itu diturunkan.
Mereka mengatakan bahwa ayat itu telah dibatalkan ketentuan hukumnya (dinasakh) dengan ayat lainnya yaitu:


Dan kawinkanlah orang-orang yang sedirian di antara kamu, dan orang-orang yang layak dari hamba-hamba sahayamu yang lelaki dan hamba-hamba sahayamu yang perempuan. Jika mereka miskin Allah akan memampukan mereka dengan kurnia-Nya. Dan Allah Maha luas lagi Maha Mengetahui.(QS. An-Nur: 32).

Pendapat ini juga merupakan pendapat Abu Bakar As-Shiddiq dan Umar bin Al-Khattab radhiyallahu 'anhuma. Mereka membolehkan seseorang untuk menikahi wanita pezina. Dan bahwa seseorang pernah berzina tidaklah mengharamkan dirinya dari menikah secara syah.

Pendapat mereka ini dikuatkan dengan hadits berikut:

Dari Aisyah ra berkata,
 "Rasulullah SAW pernah ditanya tentang seseorang yang berzina dengan seorang wanita dan berniat untuk menikahinya, lalu beliau bersabda, "Awalnya perbuatan kotor dan akhirnya nikah. Sesuatu yang haram tidak bisa mengharamkan yang halal." (HR Tabarany dan Daruquthuny).

Dan hadits berikut ini:


Seseorang bertanya kepada Rasulullah SAW, "Isteriku ini seorang yang suka berzina." Beliau menjawab, "Ceraikan dia!." "Tapi aku takut memberatkan diriku." "Kalau begitu mut'ahilah dia." (HR Abu Daud dan An-Nasa'i)

Selain itu juga ada hadits berikut ini

Dimasa lalu seorang bertanya kepada Ibnu Abbas ra,
 "Aku melakukan zina dengan seorang wanita, lalu aku diberikan rizki Allah dengan bertaubat. Setelah itu aku ingin menikahinya, namun orang-orang berkata (sambil menyitir ayat Allah), "Seorang pezina tidak menikah kecuali dengan pezina juga atau dengan musyrik'. Lalu Ibnu Abbas berkata, "Ayat itu bukan untuk kasus itu. Nikahilah dia, bila ada dosa maka aku yang menanggungnya." (HR Ibnu Hibban dan Abu Hatim)

Ibnu Umar ditanya tentang seorang laki-laki yang berzina dengan seorang wanita, bolehkan setelah itu menikahinya? Ibnu Umar menjawab, "Ya, bila keduanya bertaubat dan memperbaiki diri."

2. Pendapat Yang Mengharamkan

Sebagian kecil ulama ada yang berpendapat untuk mengharamkan tindakan menikahi wanita yang pernah dizinainya sendiri. Paling tidak tercatat ada Aisyah, Ali bin Abi Thalib, Al-Barra' dan Ibnu Mas'ud radhiyallahu 'anhum ajmain.

Mereka mengatakan bahwa seorang laki-laki yang menzinai wanita maka dia diharamkan untuk menikahinya. Begitu juga seorang wanita yang pernah berzina dengan laki-laki lain, maka dia diharamkan untuk dinikahi oleh laki-laki yang baik (bukan pezina).


Bahkan Ali bin Abi Thalib mengatakan bahwa bila seorang isteri berzina, maka wajiblah pasangan itu diceraikan. Begitu juga bila yang berzina adalah pihak suami. Tentu saja dalil mereka adalah zahir ayat yang kami sebutkan di atas (aN-Nur: 3).

Selain itu mereka juga berdalil dengan hadits dayyuts, yaitu orang yang tidak punya rasa cemburu bila isterinya serong dan tetap menjadikannya sebagai isteri.

Dari Ammar bin Yasir bahwa Rasulullah SAW bersabda, 
"Tidak akan masuk surga suami yang dayyuts." (HR Abu Daud)

Di antara tokoh di zaman sekarang yang ikut mengharamkan adalah Syeikh Al-Utsaimin rahmahullah.

3. Pendapat Pertengahan

Sedangkan pendapat yang pertengahan adalah pendapat Imam Ahmad bin Hanbal. Beliau mengharamkan seseorang menikah dengan wanita yang masih suka berzina dan belum bertaubat. Kalaupun mereka menikah, maka nikahnya tidak syah.

Namun bila wanita itu sudah berhenti dari dosanya dan bertaubat, maka tidak ada larangan untuk menikahinya. Dan bila mereka menikah, maka nikahnya syah secara syar'i.

Nampaknya pendapat ini agak menengah dan sesuai dengan asas prikemanusiaan. Karena seseorang yang sudah bertaubat berhak untuk bisa hidup normal dan mendapatkan pasangan yang baik.

Lalu, karena penegakan syariah dan hukum hudud hanya bisa dilakukan oleh ulil amri (pemerintah) maka hukum rajam, cambuk, dan yang lain belum bisa dilakukan. Sebagai gantinya, tobat dari zina bisa dengan penyesalan, meninggalkan perbuatan tersebut, dan bertekad untuk tidak mengulangi.

Dan hukum pernikahan di antara mereka sudah sah, asalkan telah terpenuhi syarat dan rukunnya. Harus ada ijab qabul yang dilakukan oleh suami dengan ayah kandung si wanita disertai keberadaan 2 orang saksi laki-laki yang akil, baligh, merdeka, dan 'adil.

Tidak Perlu Diulang

Kalau kita mengunakan pendapat mayoritas ulama yang mengatakan pernikahan mereka sah, maka karena akad nikah mereka sudah sah, sebenarnya tidak ada lagi keharusan untuk mengulangi akad nikah setelah bayinya lahir. Karena pada hakikatnya pernikahan mereka sudah sah. Tidak perlu lagi ada pernikahan ulang.

Buat apa diulang kalau pernikahan mereka sudah sah. Dan sejak mereka menikah, tentunya mereka telah melakukan hubungan suami isteri secara sah. Hukumnya bukan zina.

Status Anak

Adapun masalah status anak, menurut sebagian ulama, jika anak ini lahir 6 bulan setelah akad nikah, maka si anak secara otomatis sah dinasabkan pada ayahnya tanpa harus ada ikrar tersendiri.

Namun jika si jabang bayi lahir sebelum bulan keenam setelah pernikahan, maka ayahnyadipandang perlu untuk melakukan ikrar, yaitu menyatakan secara tegas bahwa si anak memang benar-benar dari darah dagingnya. Itu saja bedanya.

Bila seorang wanita yang pernah berzina itu akan menikah dengan orang lain, harus dilakukan proses istibra', yaitu menunggu kepastian apakah ada janin dalam perutnya atau tidak. Masa istibra' itu menurut para ulama adalah 6 bulan. Bila dalam masa 6 bulan itu memang bisa dipastikan tidak ada janin, baru boleh dia menikah dengan orang lain.

Sedangkan bila menikah dengan laki-laki yang menzinahinya, tidak perlu dilakukan istibra' karena kalaupun ada janin dalam perutnya, sudah bisa dipastikan bahwa janin itu anak dari orang yang menzinahinya yang kini sudah resmi menjadi suami ibunya.

Wallahu a'lam bishshawab, wassalamu 'alaikum warahmatullahi wabarakatuh. 



Setiap tanggal 10 Dzul Hijjah, semua umat Islam yang tidak melaksanakan haji merayakan hari raya Idul Adha. Pada hari itu, umat Islam sangat disunnahkan untuk berqurban dimana mereka menyembelih hewan qurban untuk kemudian dibagi-bagikan kepada seluruh umat Islam di suatu daerah. Lalu apakah sebenarnya Qurban itu? Dibawah ini akan dijelaskan secara lengkap 

10 Dzulhijjah juga dikenal dengan sebuatan “Hari Raya Haji”, dimana kaum muslimin yang sedang menunaikan haji yang utama, yaitu wukuf di Arafah. Mereka semua memakai pakaian serba putih dan tidak berjahit, yang di sebut pakaian ihram, melambangkan persamaan akidah dan pandangan hidup, mempunyai tatanan nilai yaitu nilai persamaan dalam segala segi bidang kehidupan. Tidak dapat dibedakan antara mereka, semuanya merasa sederajat. Sama-sama mendekatkan diri kepada Allah Yang Maha Perkasa, sambil bersama-sama membaca kalimat talbiyah.

Disamping Idul Adha dinamakan hari raya haji, juga dinamakan “Idul Qurban”, karena pada hari itu Allah memberi kesempatan kepada kita untuk lebih mendekatkan diri kepada-Nya. Bagi umat muslim yang belum mampu mengerjakan perjalanan haji, maka ia diberi kesempatan untuk berkurban, yaitu dengan menyembelih hewan qurban sebagai simbol ketakwaan dan kecintaan kita kepada Allah SWT.

Jika kita menengok sisi historis dari perayaan Idul Adha ini, maka pikiran kita akan teringat kisah teladan Nabi Ibrahim, yaitu ketika Beliau diperintahkan oleh Allah SWT untuk menempatkan istrinya Hajar bersama Nabi Ismail putranya, yang saat itu masih menyusu. Mereka ditempatkan disuatu lembah yang tandus, gersang, tidak tumbuh sebatang pohon pun. Lembah itu demikian sunyi dan sepi tidak ada penghuni seorangpun. Nabi Ibrahim sendiri tidak tahu, apa maksud sebenarnya dari wahyu Allah yang menyuruh menempatkan istri dan putranya yang masih bayi itu, ditempatkan di suatu tempat paling asing, di sebelah utara kurang lebih 1600 KM dari negaranya sendiri palestina. Tapi baik Nabi Ibrahim, maupin istrinya Siti Hajar, menerima perintah itu dengan ikhlas dan penuh tawakkal.


Qurban berasal dari bahasa Arab, “Qurban” yang berarti dekat (قربان). Kurban juga disebut dengan al-udhhiyyah dan adh-dhahiyyah yang berarti binatang sembelihan, seperti unta, sapi (kerbau), dan kambing yang disembelih pada hari raya Idul Adha dan hari-hari tasyriq sebagai bentuk taqarrub atau mendekatkan diri kepada Allah.

Dalil Disyari'atkannya Kurban :

Allah SWT telah mensyariatkan kurban dengan firmannya :

Sesungguhnya Kami telah memberikan kepadamu nikmat yang banyak. Maka dirikanlah salhat karena Tuhanmu, dan berkurbanlah. Sesungguhnya orang-orang yang membencimu dialah yang terputus. (Al-Kautsar: 1 — 3)
Dan telah Kami jadikan untuk kamu unta-unta itu sebagai syiar Allah. Kamu banyak memperoleh kebaikan dari padanya, maka sebutlah nama Allah ketika kamu menyembelihnya. (Al-Hajj: 36)
Keutamaan Ibadah Kurban :

Dari Aisyah ra, Nabi saw bersabda : 

Tidak ada suatu amalan pun yang dilakukan oleh manusia pada hari raya Kurban yang lebih dicintai Allah SWT dari menyembelih hewan Kurban. Sesungguhnya hewan Kurban itu kelak pada hari kiamat akan datang beserta tanduk-tanduknya, bulu-bulunya dan kuku-kukunya. Dan sesungguhnya sebelum darah Kurban itu menyentuh tanah, ia (pahalanya) telah diterima di sisi Allah, maka beruntunglah kalian semua dengan (pahala) Kurban itu. (HR Tirmidzi)
Hukum Berkurban :
Ibadah kurban hukumnya sunnah muakkadah (sunnah yang sangat dianjurkan). Bagi orang yang mampu melakukannya lalu ia meninggalkan hal itu, maka ia dihukumi makruh. Hal ini berdasarkan hadis yang diriwayatkan oleh Bukhari dan Muslim bahwa Nabi saw pernah berkurban dengan dua kambing kibasy yang sama-sama berwarna putih kehitam-hitaman dan bertanduk. Beliau sendiri yang menyembelih kurban tersebut, dan membacakan nama Allah serta bertakbir (waktu memotongnya).

Dari Ummu Salamah ra, Nabi saw bersabda :

Dan jika kalian telah melihat hilal (tanggal) masuknya bulan Dzul Hijjah, dan salah seorang di antara kamu ingin berkurban, maka hendaklah ia membiarkan rambut dan kukunya.” HR Muslim
Arti sabda Nabi saw, ” ingin berkorban” adalah dalil bahwa ibadah kurban ini sunnah, bukan wajib.

Diriwayatkan dari Abu Bakar dan Umar ra bahwa mereka berdua belum pernah melakukan kurban untuk keluarga mereka berdua, lantaran keduanya takut jika perihal kurban itu dianggap wajib.
 

Hikmah Kurban :
Ibadah kurban disyariatkan Allah untuk mengenang Sejarah Idul Adha sendiri yang dialami oleh Nabi Ibrahim as dan sebagai suatu upaya untuk memberikan kemudahan pada hari Id, sebagaimana yang disabdakan oleh Rasulullah saw: 

Hari-hari itu tidak lain adalah hari-hari untuk makan dan minum serta berdzikir kepada Allah Azza wa Jalla.

Syarat - syarat Qurbar :

Binatang yang boleh untuk kurban adalah onta, sapi (kerbau) dan kambing. Untuk selain yang tiga jenis ini tidak diperbolehkan. Allah SWT berfirman: 
Supaya mereka menyebut nama Allah terhadap binatang ternak yang telah dianugerahkan Allah kepada mereka.” (Al-Hajj: 34)

Dan dianggap memadai berkurban dengan domba yang berumur setengah tahun, kambing jawa yang berumur satu tahun, sapi yang berumur dua tahun, dan unta yang berumur lima tahun, baik itu jantan atau betina. Hal ini sesuai dengan hadis-hadis di bawah ini:

Dari Abu Hurairah ra berkata, aku pernah mendengar Rasulullah saw bersabda,

Binatang kurban yang paling bagus adalah kambing yang jadza’ (powel/berumur satu tahun). (HR Ahmad dan Tirmidzi)
Binatang-Binatang yang Tidak Diperbolehkan untuk Kurban :

Syarat-syarat binatang yang untuk kurban adalah bintang yang bebas dari aib (cacat). Karena itu, tidak boleh berkurban dengan binatang yang aib seperti di bawah ini: 

  1. Yang penyakitnya terlihat dengan jelas.
  2. Yang buta dan jelas terlihat kebutaannya
  3. Yang pincang sekali.
  4. Yang sumsum tulangnya tidak ada, karena kurus sekali.
Rasulullah saw bersabda: 
Ada empat penyakit pada binatang kurban yang dengannya kurban itu tidak mencukupi. Yaitu yang buta dengan kebutaan yang nampak sekali, dan yang sakit dan penyakitnya terlihat sekali, yang pincang sekali, dan yang kurus sekali. (HR Tirmidzi seraya mengatakan hadis ini hasan sahih)
     5. Yang cacat, yaitu yang telinga atau tanduknya sebagian besar hilang.
Selain binatang lima di atas, ada binatang-binatang lain yang tidak boleh untuk kurban, yaitu:
  1. Hatma’ (ompong gigi depannya, seluruhnya).
  2. Ashma’ (yang kulit tanduknya pecah).
  3. Umya’ (buta).
  4. Taula’ (yang mencari makan di perkebunan, tidak digembalakan).
  5. Jarba’ (yang banyak penyakit kudisnya).
Itulah beberapa pengertian Idul Adha dan Hukumnya dalam Agama Islam


Pengertian Haji, secara garis besar, dapat disimpulkan bahwa “ Haji adalah berkunjung ke Baitullah, untuk melakukan Thawaf, Sa’i, Wukuf di Arafah dan melakukan amalan – amalan yang lain dalam waktu tertentu (antara 1 syawal sampai 13 Dzul Hijjah) untuk mendapatkan keridhaan Allah SWT ”.
Manasik. Manasik haji adalah peragaan pelaksanaan Ibadah Haji] sesuai dengan rukun-rukunnya. Dalam kegiatan ibadah haji, calon jamaah haji akan dilatih tentang tata cara pelaksanaan ibadah haji yang akan dilaksanakannya, misalnya rukun haji, persyaratan, wajib, sunah, maupun hal-hal yang tidak boleh dilakukan selama pelaksanaan Ibadah Haji. Selain itu, para calon jamaah haji juga akan belajar bagaimana cara melakukan praktik tawaf, sa’i, wukuf, lempar jumrah, dan prosesi ibadah lainnya dengan kondisi yang dibuat mirip dengan keadaan di tanah suci.
Rukun Haji (Sesuatu yang  harus dilaksanakan bila ada salah satu atau lebih tidak dilaksanakan, maka tidak dapat diganti dengan dam (denda), dan hajinya batal (tidak sah)

Syarat-syarat Haji :
  1. Beragama Islam
  2. Berakal sehat
  3. Berusia baligh
  4. Merdeka (bukan budak)
Memiliki kemampuan, yang mencakup:
  1.  Kemampuan harta, yaitu memiliki ongkos dan bekal perjalanan setelah memenuhi kewajiban nafkah, membayar hutang dan lain-lain.
  2.  Kesehatan badan
  3.  Jalan yang aman untuk sampai ke baitullah
  4. Mampu untuk melakukan perjalanan
  5.  Bagi wanita wajib disertai mahram atau suami
  6.  Dan tidak sedang dalam kondisi ‘iddah

Urutan manjalankan Ibadah Haji

  • Sebelum tanggal 8 Dzulhijjah , calon jamaah haji mulai berbondong untuk melaksanakan Thawwaf Qudum di Masjid Al Haram, Makkah. Calon jamaah haji memakai pakaian Ihram (dua lembar kain tanpa jahitan sebagai pakaian haji), sesuai miqatnya, kemudian berniat haji, dan membaca bacaan Talbiyah, yaitu mengucapkan  :
Labbaikallahumma labbaik labbaika laa syarika laka labbaik. Innal hamda wan ni’mata laka wal mulk laa syarika laka..
                                                                                                         
  • Tanggal 9 Dzulhijjah, pagi harinya semua calon jamaah haji menuju ke padang Arafah untuk menjalankan ibadah wukuf. yaitu berarti  berdiam diri dan berdoa di padang Arafah hingga Maghrib datang. Sebagaimana Sabda Nabi, Al-hajju ‘Arafah”, maksudnya adalah inti dan puncak haji adalah melaksanakan wukuf di Arafah. Arafah berarti mengenal, mengetahui, dan menyadari. Sedangkan makna wukuf adalah berdiam diri. Dengan demikian, makna wukuf di Arafah adalah berdiam diri untuk meditasi dan menengadah guna merenungkan eksistensi diri di hadapan Allah swt. dan dihadapan makhluk alam semesta kemudian melakukan transformasi ruhaniah secara besar-besaran.
  • Dengan wukuf di Arafah tersebut, orang-orang yang melaksanakan haji diharapkan menjadi arif dan sadar akan eksistensi dirinya, dari mana ia berasal dan ke mana ia akan pergi, sadar akan tugas dan tanggung jawabnya, serta memanifestasikan dan mengaplikasikan kesadaran tersebut dalam bentuk tindakan konkret dalam kehidupan pribadi dan kehidupan masyarakatnya.

  • Tanggal 9 Dzulhijjah malam, jamaah menuju ke Muzdalifah untuk mabbit (bermalam) dan Mabit di Musdzalifah.  Mengambil batu untuk melontar jumroh secukupnya. Mabit di Muzdalifah artinya bermalam atau berhenti sejenak atau menginap    di Muzdalifah pada malam 10 Dzul Hijjah selepas wukuf di Arafah. Dibagian sebelah barat dari Muzdalifah ini terletak Masy'aril Haram, yaitu gunung Quzah.. Mufassir lain mengatakan,  Masy'aril Haram adalah Muzdalifah seluruhnya. Di tempat itu jama'ah Haji melakukan mabit atau wukuf, minimal  telah melewati tengah malam. Memang,  yang lebih utama  mabit dilakukan sampai selesai shalat Subuh sebelum berangkat ke Mina untuk melakukan Jumroh Aqobah                                                                                                                                           
  • Tanggal 9 Dzulhijjah tengah malam (setelah mabbit) jamaahmeneruskan perjalanan ke  Mina untuk melaksanakan ibadah melontar Jumroh. Mina adalah sebuah lembah di padang pasir yang terletak sekitar 5 kilometer sebelah Timur kota Mekkah, Arab Saudi. Ia terletak di antara Mekkah dan Muzdalifah. Mina mendapat julukan kota tenda, karena berisi tenda-tenda untuk jutaan jamaah haji seluruh dunia. Tenda-tenda itu tetap berdiri meski musim haji tidak berlangsung. Mina paling dikenal sebagai tempat dilaksanakannya kegiatan lempar jumrah dalam ibadah haji. Mina didatangi oleh jamaah haji pada tanggal 8 Dzulhijah atau sehari sebelum wukuf di Arafah. Jamaah haji tinggal di sini sehari semalam sehingga dapat melakukan shalat Dzuhur, Ashar, Maghrib, Isya dan Subuh. Kemudian setelah sholat Subuh tanggal 9 Dzulhijah, jamaah haji berangkat ke Arafah. Jamaah haji datang lagi ke Mina setelah selesai melaksanakan wukuf di Arafah. Jamaah haji ke Mina lagi karena para jamaah haji akan melempar jumrah. Tempat atau lokasi melempar jumrah ada 3 yaitu Jumrah Aqabah, Jumrah Wusta dan Jumrah Ula. Di Mina jama'ah haji wajib melaksanakan mabit (bermalam) yaitu malam tanggal 11,12 Dzulhijah bagi jamaah haji yang melaksanakan Nafar Awal atau malam tanggal 11,12,13 dzulhijah bagi jamaah yang melaksanakan Nafar Tsani. Mina juga merupakan tempat atau lokasi penyembelihanbinatang kurban. Di Mina ada mesjid Khaif, merupakan masjid dimana Nabi Muhammad saw. melakukan shalat dan khutbah ketika berada di Mina saat melaksanakan ibadah haji.

  • Tanggal 10 Dzulhijjah, jamaah melaksanakan ibadah melempar Jumrah sebanyak tujuh kali ke Jumrah Aqobah sebagai simbolisasi mengusir setan. Melempar jumrah adalah simbol perlawanan manusia terhadap setan. Manusia harus melakukan perlawanan kepada setan karena mereka selalu berupaya menyesatkan manusia dari jalan kebenaran dan menjauhkan mereka dari jalan Allah swt. Melempar jumrah adalah simbol keteladanan Hajar yang menunjukkan sikap permusuhan terhadap setan. Dalam suatu riwayat dikatakan bahwa sewaktu Ibrahim membawa Ismail untuk disembelih, setan membujuk Hajar agar menghentikan langkah suaminya itu. Sebagi seorang ibu, menurut setan, Hajar tidak akan sampai hati mengetahui buah hatinya dikorbankan. Perkiraan setan ternyata meleset. Bukannya menuruti bisikan setan, Hajar malah mengambil batu dan melemparinya berkali-kali. Dalam ibadah haji, melempar jumrah tidak hanya dilakukan dalam satu hari melainkan tiga atau empat hari. Ini menunjukkan perintah Allah yang sangat tegas agar manusia benar-benar memusuhi setan dan tidak bersekutu dengannya. Panji-panji harus terus dikibarkan dan genderang perang melawan setan harus terus ditabuh. Dilanjutkan dengan tahallul yaitu mencukur rambut atau sebagian rambut. Jika jamaah mengambil nafar awal maka dapat dilanjutkan perjalanan ke Masjidil Haram untuk Thawwad ifadhah/Thawaf Haji (menyelesaikan Haji). Sedangkan jika mengambil nafar akhir jama'ah tetap tinggal di Mina dan dilanjutkan dengan melontar jumroh sambungan (Ula dan Wustha).Thawaf artinya: Mengelilingi Ka’bah sebanyak tujuh kali di mana posisi Ka’bah berada di sebelah kiri jama’ah. Diawali dan diakhiri sejajar dan searah dengan Hajar Aswad.

Macam - macam Thawwaf :

Thawaf Qudum :
Thawaf selamat datang, yang dikerjakan ketika baru datang di kota Mekah bilamana tidak dikerjakan hajinya tetap sah, karana hukumnya sunnah.


Tawaf Ifadhah :
Thawaf yang termasuk rukun haji, bilamana tidak dikerjakan maka hajinya tidak sah karana hukumnya wajib.


Tawaf sunah :
Tawaf yang bila dikerjakan mendapat pahala dan bila tidak dikerjakan tidak berdosa.


Thawaf Nadzar :
Thawaf yang dilakukan karena punya nadzar


Tawaf wada' :
Sebagai tawaf pamitan, (tawaf selamat tinggal ) tawaf yang dikerjakan ketika akan meninggalkan kota Mekah, sedangkan hukumnya wajib, jika tidak mengerjakan maka harus membayar Dam.


  • Tanggal 11 dan 12 Dzulhijjah, melempar jumrah sambungan (Ula) di tugu pertama, tugu kedua, dan tugu ketiga.Melontar pertama kali adalah melontar Jumrah 'Aqabah pada hari Ied. Tetapi jika seseorang melakukannya pada tengah malam bagian kedua dari malam Ied, maka demikian itu cukup baginya. Sedangkan yang utama adalah melontar Jumrah 'Aqabah antara waktu dhuha sampai terbenam matahari pada hari Ied. Tapi jika terlewatkan dari waktu itu, maka dapat melontar setelah terbenamnya matahari pada hari Ied. Caranya adalah dgn 7 kali melontar dgn membaca takbir setiap kali melontar. Adapun melontar pada hari-hari tasyriq adalah dilakukan setelah matahari condong ke barat (setelah dzuhur). Yaitu memulai dgn melontar Jumrah Ula yang dekat dgn masjid Al-Khaif sebanyak 7 kali lontaran disertai takbir setiap melontar. Lalu Jumrah Wustha dgn 7 kali melontar disertai takbir setiap kali melontar. Kemudian melontar di Jumrah 'Aqabah sebanyak 7 kali lontaran disertai takbir setiap kali melontar. Dan demikian itu dilakukan pada tanggal 11,12, & 13 Dzulhijjah bagi orang yang  tak hendak mempercepat pulang dari Mina. Tapi bagi orang yang ingin mempercepat pulang dari Mina, maka hanya sampai tanggal 12 Dzulhijjah. dan disunnahkan setelah melontar Jumrah Ula & Jumrah Wustha berhenti di samping tempat melontar. Di mana setelah melontar Jumrah Ula disunahkan berdiri di arah kanan tempat melontar dgn menghadap kiblat seraya berdo'a panjang kepada Allah. Sedang sehabis melontar Jumrah Wustha disunnahkan berdiri disamping kiri tempat melontar dgn menghadap kiblat seraya berdo'a panjang kepada Allah. Tapi sehabis melontar Jumrah 'Aqabah tak disunnahkan berdiri di sampingnya karena Nabi saw. setelah melontar Jumrah Aqabah tak berdiri disampingnya

  • Jamaah haji kembali ke Makkah untuk melaksanakan Thawaf  Wada' (Thawaf perpisahan) sebelum pulang ke negara masing-masing. Dilakukan pada saat akan meninggalkan Mekah yang biasanya dilakukan untuk menghormati Baitullah karena akan berpisah. Hukum Thawaf Wada' adalah wajib, sehingga kalau tidak dikerjakan wajib membayar dam (menyembelih kambing). Thawaf ini di sebut juga Thawaf Perpisahan. Thawaf wada’ merupakan penutup dari kewajiban – kewajiban haji yang seorang haji wajib melakukannya sebelum pergi menuju negerinya atau meninggalkan kota Mekkah. 

Rasulullah saw yang bersabda :
“Janganlah seseorang diantara kalian itu pergi (meninggalkan Mekkah) sampai penutupannya itu di ka’bah”.

“Tiada ampunan meninggalkan thawaf wada’ kecuali bagi yang sedang haid maupu nifas”.








Ilmu merupakan kunci untuk menyelesaikan segala persoalan, baik persoalan yang berhubungan dengan kehidupan beragama maupun persoalan yang berhubungan dengan kehidupan duniawi. Ilmu diibaratkan dengan cahaya, karena ilmu memiliki pungsi sebagai petunjuk kehidupan manusia, pemberi cahaya bagi orang yang ada dalam kegelapan.
Orang yang mempunyai ilmu mendapat kehormatan di sisi Allah dan Rasul-Nya. Banyak ayat Al-Qur’an yang mengarah agar umatnya mau menuntut ilmu, seperti yang terdapat dalam Qs Al Mujadalah ayat 11:

يَرْفَعِ اللهُ الَّذِينَ ءَامَنُوا مِنكُمْ وَالَّذِينَ أُوتُوا الْعِلْمَ دَرَجَاتٍ وَاللهُ بِمَا تَعْمَلُونَ خَبِيرُُ

Artinya :
Allah akan meninggikan orang-orang yang beriman di antaramu dan orang-orang yang diberi ilmu pengetahuan beberapa derajat (Q.s. al-Mujadalah : 11)
Selain itu banyak hadits Nabi Saw yang mendorong agar umat Islam bersungguh-sungguh dalam menuntut ilmu. Di bawah ini terdapat hadits Nabi Saw yang berkenaan dengan kewajiban menuntut ilmu diantaranya:

A. Hadits tentang keharusan meniru orang yang banyak ilmu 

Perhatikan baik-baik hadits Rasulullah saw di bawah ini!

عَنْ عَبْدِ اللهِ بْنِ مَسْعُوْدٍ رضي الله عنه قَالَ : قَالَ النَِّبيُ صلى الله عليه وسلم : لاَحَسَدَ إِلاَ فِي اثْنَتَيْنِ : رَجُلٌ أَتَاهُ اللهُ مَا لاً فَسُِّلطَ عَلىَ هَلَكِتهِ فيِ الَحقّ ِ, وَ رَجُلٌ أَتَاهُ اللهُ الْحِكْمةَ فَهُوَ يَقْضِى ِبهَا وَيُعَلِمُهَا (رواه البجاري)

Sebelum menterjemahkan secara keseluruhan hadits tersebut, marilah kita lihat terlebih dahulu terjemahannya secara harfiyah (kata-perkata) berikut ini :

Arti Harfiah

Cara Membaca

Tulisan Arab

Janganlah hasud
Laa hasada
لاَحَسَدَ
kecuali seperti dua orang ini.
Illa fitsnataini
إِلاَ فِي اثْنَتَيْنِ
orang yang diberi Allah
Rojulun ataahullohu
أَتَاهُ اللهُ رَجُلٌ
kekayaan berlimpah
Malaan
مَا لاً
dan ia membelanjakannya
Fasullitho
فَسُِّلطَ
Dengan benar
Fil Haqqi
في الحق
Hikmah
Al-Hikmata
الْحِكْمة
ia berprilaku sesuai dengannya
Fa Huwa Yaqdhi
فَهُوَ يَقْضِى
dan mengajarkannya
Wayu’allimuha
وَيُعَلِمُهَا

Artinya :
Dari Abdullah bin Mas’ud r.a. Nabi Muhamad pernah bersabda :”Janganlah ingin seperti orang lain, kecuali seperti dua orang ini. Pertama orang yang diberi Allah kekayaan berlimpah dan ia membelanjakannya secara benar, kedua orang yang diberi Allah al-Hikmah dan ia berprilaku sesuai dengannya dan mengajarkannya kepada orang lain (HR Bukhari)
Hadits di atas mengandung pokok materi yaitu seorang muslim harus merasa iri dalam beberapa hal. Memang iri atau perbuatan hasud adalah perbuatan yang dilarang dalam ajaran Islam, tetapi ada dua hasud yang harus ada pada diri seorang muslim, yaitu pertama menginginkan banyak harta dan harta itu dibelanjakan di jalan Allah seperti dengan berinfaq, shadaqah dan lainnya. Harta ini tidak digunakan untuk berbuat dosa dan maksiat kepada Allah, kedua menginginkan ilmu seperti yang dimiliki orang lain, kemudian ilmu itu diamalkan dalam kehidupan sehari-hari, juga diajarkan kepada orang lain dengan ikhlash.
Hukum mencari ilmu itu wajib, dengan rincian, pertama hukumnya menjadi fardhu ‘ain untuk mempelajari ilmu agama seperti aqidah, fiqih, akhlak serta Al-Qur’an. Ilmu-ilmu ini bersipat praktis, artinya setiap muslim wajib memahami dan mempraktekkan dalam pengabdiannya kepada Allah. Fardu ‘ain artinya setiap orang muslim wajib mempelajarinya, tidak boleh tidak.
Dan kedua hukumnya menjadi fardu kifayah untuk mempelajari ilmu pengetahuan umum seperti : ilmu sosial, kedokteran, ekonomi serta teknologi. Fardu Kifayah artinya tidak semua orang dituntut untuk memahami serta mempraktekkan ilmu-ilmu tersebut, boleh hanya sebagian orang saja.
Kewajiban menuntut ilmu ini ditegaskan dalam hadits nabi, yaitu :

رواه إبن عبد البر)) طَلَبُ اْلعِلْمَ فَرِيْضِةٌ عَلَى كُلِّ مُسْلِمٍ وَ مُسْلِمَةٍ

Artinya :
Mencari ilmu itu hukumnya wajib bagi muslimin dan muslimat”(HR. Ibnu Abdil Bari)
Secara jelas dan tegas hadits di atas menyebutkan bahwa menuntut ilmu itu diwajibkan bukan saja kepada laki-laki, juga kepada perempuan. Tidak ada perbedaan bagi laki-laki ataupun perempuan dalam mencari ilmu, semuanya wajib. Hanya saja bahwa dalam mencari ilmu itu harus tetap sesuai dengan ketentuan Islam.
Kewajiban menuntut ilmu waktunya tidak ditentukan sebagimana dalam shalat, tetapi setiap ada kesempatan untuk menuntutnya, maka kita harus menuntut ilmu. Menuntut ilmu tidak saja dapat dilaksanakan di lembaga-lembaga formal, tetapi juga dapat dilakukan lembaga non formal. Bahkan, pengalaman kehidupanpun merupakan guru bagi kita semua, di mana kita bisa mengambil pelajaran dari setiap kejadian yang terjadi di sekeliling kita. Begitu juga masalah tempat, kita dianjurkan untuk menuntut ilmu dimana saja, baik di tempat yang dekat maupun di tempat yang jauh, asalkan ilmu tersebut bermanfaat bagi kita. Nabi pernah memerintahkan kepada umatnya untuk menuntut ilmu walaupun sampai di tempat yang jauh seperti negeri China.
Selain itu menuntut ilmu itu tidak mengenal batas usia, sejak kita terlahir sampai kita masuk kuburpun kita senentiasa mengambil pelajaran dalam kehidupan, dengan kata lain Islam mengajarkan untuk menuntut ilmu sepanjang hayat dikandung badan. Sebagaimana tercantum dalam hadits nabi :

أُطْلُبُ الْعِلْمَ مِنَ الْمَحْدِ إِلَى اللَّهْدِ (رواه مسلم)

Artinya
“Carilah ilmu dari buaian sampai liang lahat”(HR. Muslim)

B. Hadits yang menjelaskan keutamaan orang yang menuntut ilmu

Rasulullah bersabda tentang keutamaan menuntut ilmu sebagai berikut :
مَْن سَلَكَ طَرِْيقًا َيلْتَمِسُ فِيْهِ عِلْمًا سَهَّلَ اللهُ لَهُ طَرِيْقًا ِإلىَ اْلجَنَّةِ (رواه مسلم)
Perhatikan terjemahan secara harfiah dibawah ini :

Arti Harfiah

Cara Membaca

Tulisan Arab

Barang siapa yang menempuh
Man salaka
مَْن سَلَك
suatu jalan
Thoriiqon
طَرِْيقًا
Ilmu
‘ilman
عِلْمًا
Allah akan memudahkan
Sahhalalloohu
سَهَّلَ اللهُ
Baginya
Lahu
لَهُ
Jalan menuju surga
Thoriiqon ilal jannah
طَرِيْقًا ِإلىَ اْلجَنَّةِ

Terjemah secara lengkap :
Barang siapa yang menempuh suatu jalan untuk menuntut ilmu, Allah akan memudahkan baginya jalan ke surga (HR Muslim)
Hadits di atas memberi gambaran bahwa dengan ilmulah surga itu akan didapat. Karena dengan ilmu orang dapat beribadah dengan benar kepada Allah Swt dan dengan ilmu pula seorang muslim dapat berbuat kebaikan. Oleh karena itu orang yang menuntut ilmu adalah orang yang sedang menuju surga Allah.
Mencari ilmu itu wajib, tidak mengenal batas tempat, dan juga tidak mengenal batas usia, baik anak-anak maupun orang tua. Kewajiban menuntut ilmu dapat dilaksanakan di sekolah, pesantren, majlis ta’lim, pengajian anak-anak, belajar sendiri, penelitian atau diskusi yang diselenggrakan oleh para remaja mesjid.
Ilmu merupakan cahaya kehidupan bagi umat manusia. Dengan ilmu, kehidupan di dunia terasa lebih indah, yang susah akan terasa mudah, yang kasar akan terasa lebih halus. Dalam menjalankan ibadah kepada Allah, harus dengan ilmu pula. Sebab beribadah tanpa didasarkan ilmu yang benar adalah sisa-sia belaka. Oleh karena itu dengan mengamalkan ilmu di jalan Allah merupakan ladang amal (pahala) dalam kehidupan dan dapat memudahkan seseorang untuk masuk ke dalam surga Allah.
Allah sangat mencintai orang-orang yang berilmu, sehingga orang yang berilmu yang didasarkan atas iman akan diangkat derajatnya oleh Allah, sebagaimana firman-Nya:

يَرْفَعِ اللهُ الَّذِينَ ءَامَنُوا مِنكُمْ وَالَّذِينَ أُوتُوا الْعِلْمَ دَرَجَاتٍ وَاللهُ بِمَا تَعْمَلُونَ خَبِيرُُ

Artinya :
Allah akan meninggikan orang-orang yang beriman di antaramu dan orang-orang yang diberi ilmu pengetahuan beberapa derajat (Q.s. al-Mujadalah : 11)
Keutamaan lainnya dari ilmu adalah dapat mencapai kebahagiaan baik di dunia ataupun di akhirat. Hal ini sebagaimana dijelaskan dalam hadits nabi :

مَنْ أَرَادَ الدُّنْيَا فَعَلَيْهِ بِاْلعِلْمِ وَ مَنْ أَرَادَ ْالآخِرَةِ فَعَلَيْهِ بِاْلعِلْمِ وَ مَنْ أَرَادَ هُمَا فَعَلَيْهِ بِاْلعِلْمِ (رواه الطبراني)

Artinya
Barangsiapa yang menginginkan kehidupan dunia, mak ia harus memiliki ilmu, dan barang siapa yang menginginkan kehidupan akhirat maka itupun harus dengan ilmu, dan barang siapa yang menginginkan keduanya maka itupun harus dengan ilmu (HR. Thabrani)
Kebahagian di dunia dan akhirat akan dapat diraih dengan syarat memiliki ilmu yang dimanfa’tkan. Manfa’at ilmu pengetahun bagi kehidupan manusia, antara lain :
1. Ilmu merupakan cahaya kehidupan dalam kegelapan, yang akan membimbimg manusia kepada jalan yang benar
2. Orang yang berilmu dijanjikan Allah akan ditinggikan derajatnya menjadi orang yang mulia beserta orang-orang yang beriman
3. Ilmu dapat membantu manusia untuk meningkatkan taraf hidup menuju kesejahteraan, baik rohani maupun jasmani
4. Ilmu merupakan alat untuk membuka rahasia alam, rahasia kesuksesan hidup baik di dunia maupun di akhirat.